Ruang Lingkup Psikologi Olahraga
Seiring dengan semakin besarnya industri olahraga, psikologi olahraga memegang peranan yang cukup signifikan. Dalam olahraga prestasi, peran psikolog olahraga dominan dalam mendongkrak prestasi para atlet. Misalnya dalam peningkatan motivasi, menghilangkan kecemasan, stress. Selain itu, peran seperti proses penyembuhan emotional disorders yang kerap di alami oleh para atlet profesional seperti anorexia, penggunaan obat terlarang, agresifitas, persoalan atlet dengan lingkungan keluarga, penonton, fans. Lihat yang sudah dilakukan oleh psikolog yang menangani Adriano, striker Inter Milan, dalam proses pengembalian perfomanya.
Bidang lain yang menjadi wilayah kerja psikologi olahraga adalah dalam konteks pelatihan. Di Eropa maupun Amerika, psikolog olahraga sudah terlibat dalam proses pelatihan para atlet. Peran vital pun dimainkan disini. Seorang psikolog menjadi partner bagi para pelatih dalam rangka menciptakan metode pelatihan yang efektif. Tentu saja dengan bekal ilmu psikologi. Perpaduan ilmu fisik manusia dengan ilmu psikis membuat pemahaman terhadap manusia lebih komplet. Banyak metode pelatihan yang merupakan sumbangan langsung dari dunia psikologi olahraga.
Selain dengan terjun langsung di lapangan, psikologi olahraga juga memberi sumbangan melalui riset. Riset tentang hubungan antara gerak tubuh dan konsep mental memberikan masukan bagi pengembangan teknik kepelatihan maupun pengembangan cabang olahraga itu sendiri.
Di awal kemunculannya, psikologi olahraga memang berperan untuk membantu menemukan teknik pelatihan yang efektif dan efisien dalam mengembangkan kemampuan atletis para atlet. Penelitian tentang waktu tempuh pembalap sepeda adalah tonggak sejarah munculnya psikologi olahraga.
Bidang pendidikan juga tidak luput dari dunia psikologi olahraga. Para psikolog olahraga banyak yang terjun langsung memberi pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus bagi pelatih dalam konteks pemahaman terhadap manusia untuk diimplementasikan dalam proses pencetakan para atlet.
Tidak hanya dalam konteks olahraga prestasi, psikologi olahraga juga berperan pengembangan olahraga sebagai salah satu sarana mencapai psychological well being atau untuk mencapai kesehatan mental bagi masyarakat. Karena terbukti bahwa olahraga merupakan salah satu sarana yang efektif untuk menghilangkan stress maupun depresi.
Bisa dikatakan bahwa saat ini dunia olahraga profesional maupun amatir sudah sangat tergantung pada kehadiran psikologi olahraga. Pengembangan cabang ilmu ini tentu akan memberi kontribusi yang semakin besar pada peningkatan kualitas atlet maupun cabang olahraga itu sendiri di masa depan.
Sayang memang, dunia olahraga Indonesia belum begitu memperhatikan aspek mental dalam pengembangan atlet. Peran psikolog olahraga di Indonesia pun baru sebatas konsultan bagi tim maupun atlet. Bidang garap dan ruang lingkup lain dari psikologi olahraga belum digarap dengan maksimal. Namun, semua harus dilakukan dengan penuh optimisme bahwa psikologi olahraga di Indonesia akan tumbuh berkembang dalam dunia olahraga Indonesia.
Kemenangan Mental Untuk Tim Uber!
Luar Biasa! mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan perjuangan tim Uber Indonesia saat berlaga di Thomas-Uber Cup 2008 yang berlangsung beberapa waktu lalu di Jakarta.
Bagaimana tidak, dari target hanya masuk disemi final, mereka dengan gagah berani berhasil menembus final. Meskipun akhirnya gagal di partai final, tapi Jo Novita dan kawan-kawan benar-benar menunjukkan determinasi dan kekuatan mental yang luar biasa. Hanya memang secara teknik harus diakui bahwa para pemain China masih di atas kita.
Kemenangan itu semata-mata karena kondisi mental para pemain yang dalam kondisi prima. Ada beberapa kondisi yang barangkali mempengaruhi ketangguhan mental mereka. Salah satunya adalah motivasi. Dengan puasa gelar yang sudah lebih dari 10 tahun, para pemain putri kita tampaknya sangat termotivasi untuk “berbuka” gelar yang sudah se-dekade itu. Sosok Susi Susanti yang menjadi manajer tim tampaknya memberi sumbangan yang cukup berarti dalam peningkatan moral dan mental para pemain. Susi Susanti adalah salah satu pemain terbaik yang dimiliki Indonesia yang terlibat dalam persembahan Piala Uber terakhir yang dicapai Indonesia.
Dengan role model yang langsung ditemui, para pemain dapat dengan mudah menyerap dan menginternalisasi motivasi dan sikap juara yang dimiliki oleh seorang Susi. Role modelling ternyata memberi suntikan motivasi yang cukup signifikan. Menurut Bandura, role model membangunkan sikap dan perilaku yang kemudian menjadi motivasi.
Faktro yang kedua adalah lemahnya beban yang harus ditanggung oleh para pemain kita. Target memang terkadang bermata dua, di satu sisi target yang dibebankan menjadi sebuah beban yang menciptakan ketegangan dan kecemasan. Karena secara tidak sadar, para pemain akan mempersepsi jika target itu gagal, maka hukuman akan mereka terima, meskipun hukuman ini tidak pernah terucapkan. Mata pisau target yang kedua adalah yang berefek positif dan mendorong pemain untuk mencapainya.
Dalam teori psikologi, target bisa dikatakan sebagai goal setting. Goal setting akan efektif jika diberikan sesuai dengan kemampuan dan kondisi atlet. Goal yang terlalu berat hanya akan menciptakan perasaan tegang dan akhirnya memunculkan sikap pesimistis. Secara ideal, goal harus diterjemahkan dalam proses latihan dan sifatnya berkala. Sehingga muncul pembabakan goal menjadi jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Ujungnya adalah target jangka panjang yang merupakan target inti, tapi pelaksanaannya harus diberikan secara berkala. Menciptakan tantangan dalam setiap periode dan memaksa pemain untuk memecahkan tantangan itu akan membuat target jangka panjang menjadi lebih realistis. Untuk itulah perlu direncanakan sebuah program latihan dan program kompetisi yang sifatnya kesulitannya bertahap.
Faktor Tuan Rumah
Faktor yang ketiga barangkali adalah faktor dukungan penonton yang membludak setiap kali mereka bertanding. Ricky Subagja, mantan ganda nomer 1 Indonesia, menyatakan dalam komentarnya di sela-sela siaran langsung pertandingan Thomas-Uber 2008 bahwa penonton bisa menjadi bumerang saat para pemain sedang bertanding. Teriakan penonton bisa membuat para pemain menjadi terburu-buru dan kehilangan konsentrasi, akibatnya para pemain tidak tenang dalam mengeksekusi setiap pukulan.
Tapi sebaliknya, ketika para pemain sudah relatif siap untuk memahami situasi banyaknya dukungan penonton ini dan dengan kontrol emosi yang kuat, maka dukungan akan menjadi tambahan motivasi yang membantu meningkatkan permainan. Para penonton akan bisa menjadi pemain ketiga yang membantu tim tuan rumah.
Secara nyata, para pemain putri kita mempunyai sikap mental yang kedua. Penonton menjadi suntikan dorongan yang luar biasa. Efeknya, mereka mampu bermain “kesetanan” dalam setiap laganya. Terlihat bagaimana pasangan Vita Marissa-Lilyana Natsir bertanding begitu bersemangat dan pantang menyerah. Hanya kondisi fisik saja yang mungkin membuat permainan mereka mau tidak mau harus turun.
Pekerjaan Rumah
Sekali lagi, pencapaian yang diraih oleh para pemain Uber Indonesia sudah betul-betul maksimal. Meskipun secara teknik tidak maksimal, tapi dengan dukungan mental yang membulat permainan mereka sudah pantas disejajarkan dengan pejuang di medan laga yang tidak kenal menyerah. Seolah-olah permainan mereka yang sedang dijalani adalah pertandingan terakhir mereka.
Pekerjaan rumah memang masih banyak yang harus diselesaikan oleh para pelatih, pengurus PBSI dan tentu saja para pemain sendiri. Bibit-bibit pemain muda Indonesia sedang menunggu untuk diberi polesan. Pemain-pemain penerus Susi Susanti sedang meminta untuk diberi perhatian. Dengan membuat kompetisi, sistem rekrutmen, dan pembinaan berjenjang akan memunculkan srikandi-srikandi bulutangkis Indonesia selanjutnya.
Bukan menyesali kekalahanlah yang harus dilakukan. Tapi segeralah mengevaluasi semua lini. Dari sistem kepelatihan, sistem pembinaan, dan segala hal yang berkaitan dengan proses pembentukan pemain. Dengan kerja keras dan kurikulum yang benar, bukan tidak mungkin di masa depan, Indonesia akan kembali merajai perbulutangkisan putri di dunia.
Selamat buat tim Uber Indonesia!
Cemas Bikin Lemas: Menghadapi Kecemasan dengan Lebih Berani!
Sebelum menghadapi sebuah pertandingan, ada yang umum terjadi dalam diri atlet. Kondisi psikologis atlet biasanya menjadi lebih tinggi. Hal ini terpicu oleh situasi dan keadaan yang akan di hadapi. Ditambah dengan embel-embel sebuah pertandingan penting yang menentukan. Dari kondisi tersebut muncul reaksi-reaksi fisiologis dalam tubuh seorang atlet. Keringat mengucur deras, tangan dan kaki basah oleh keringat, nafas terengah-engah, gemetar, kepala pusing, mual hingga muntah-muntah. Itu semua adalah respon fisik atas kondisi mental yang meningkat. Secara umum, atlet tersebut merasa cemas.
Kecemasan adalah peristiwa yang umum dihadapi oleh siapa saja saat akan menghadapi sesuatu yang penting. Termasuk juga para atlet. Munculnya rasa cemas, biasanya di dahului oleh gambaran mental atas peristiwa-peristiwa yang akan dihadapi. Dengan kata lain, ada proses pembayangan yang dilakukan oleh seorang atlet yang mendahului munculnya rasa cemas. Dari gambaran tersebut kemudian menyatu dengan persepsi-persepsi, gambaran-gambaran, harapan-harapan atas diri sendiri.
Secara sederhana kecemasan atau dalam bahasa psikologi biasa disebut dengan anxiety di definisikan sebagai aktivasi dan peningkatan kondisi emosi (Bird, 1986). Peningkatan dan aktivasi ini didahului oleh sebuah kekhawatiran dan kegelisahan atas apa yang akan terjadi. Dalam konteks pertandingan, tentu saja berkaitan dengan lawan dan harapan-harapan baik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain.
Cemas vs Arousal
Ada dua jenis peningkatan dan aktivasi kondisi psikologis ini. Selain anxiety, ada juga yang disebut dengan arousal. Keduanya merupakan hasil dari peningkatan kondisi mental seseorang. Bedanya berada pada tingkatan aktivasi dan jenis emosi yang muncul. Arousal bersifat lebih positif, artinya arousal memberi energi pada seseorang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Arousal memberi tambahan tenaga yang mendasari sebuah perilaku. Keinginan untuk menang, menjatuhkan lawan dengan segera (dalam olahraga beladiri dan tinju), tampil lebih trengginas dan sebagainya adalah hasil yang muncul dari arousal ini.
Sedangkan cemas adalah kombinasi antara intensitas perilaku dan arah dari emosi yang lebih bersifat negatif (Bird, 1986). Perilaku yang sering muncul seiring dengan munculnya rasa cemas ini adalah ketakutan akan kalah, kekhawatiran atas performa diri dan prestasi lawan dan sebagainya. Dalam bahasa lain, para ahli sering mengganti istilah anxiety menjadi stress. Secara umum, kedua istilah ini digunakan secara bergantian dengan merujuk pada definisi yang sama. Kecemasan adalah hasil keraguan atas kemampuan untuk menangani situasi yang menyebabkan stress (Hardy, 1996 dalam Humara).
Pahlevi (1991), mendefinisikan kecemasan sebagai suatu kecenderungan untuk mempersepsikan situasi sebagai ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Handoyo (1980), mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang dialami olah seseorang, dimana ia merasa tegang tanpa sebab. Hal yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan-perubahan pada tubuhnya baik secara somatis maupun psikologis.
Teori awal yang menjelaskan tentang anxiety ini adalah Hipotesis U-terbaik. Dalam teori ini anxiety dikatakan memberi pengaruh yang besar terhadap penampilan. Semakin tinggi tingkat kecemasan, maka penampilan akan semakin optimal. Namun, jika berubah menjadi terlalu tinggi, maka penampilan akan semakin turun (seperti huruf U yang dibalik).
Anxiety sendiri dibagi menjadi beberapa jenis. Yang pertama adalah state anxiety atau biasa disebut sebagai A-state. A-state ini adalah kondisi cemas berdasarkan situasi dan peristiwa yang dihadapi. Artinya situasi dan kondisi lingkunganlah yang menyebabkan tinggi rendahnya kecemasan yang dihadapi. Sebagai contoh, seorang atlet akan merasa sangat tegang dalam sebuah perebutan gelar juara dunia. Sebaliknya, tidak begitu tegang saat menjalani pertandingan dalam kejuaraan nasional.
Yang kedua adalah trait anxiety atau biasa disebut dengan A-trait. Trait anxiety adalah level kecemasan yang secara alamiah dibawa oleh seseorang. Dalam A-trait ini tingkat kecemasan akan berbeda-beda dalam setiap individu berdasarkan kondisi kepribadian dasar yang dimilikinya. Sebagai contoh, pemain A akan merasa lebih rileks dalam menghadapi pertandingan di Pekan Olahraga Nasional, tapi untuk atlet lain dia justru merasa sangat tertekan dan sangat cemas meskipun bertanding dalam even yang sama. Hal ini disebabkan oleh persepsi dasar seorang individu dalam memandang sumber kecemasan.
Dan yang ketiga adalah Competitive anxiety. Competitive anxiety ini adalah kecemasan yang berhubungan dengan situasi kompetisi atau sebuah pertandingan. Competitive anxiety ini sendiri dibagi menjadi competitive trait anxiety dan competitive state anxiety.
Anxiety dan Penampilan
Secara sederhana, anxiety memberi pengaruh yang cukup besar terhadap penampilan seorang atlet. Menurut teori hipotesis U-terbalik maka penampilan seorang atlet akan semakin bagus saat tingkat kecemasan mulai meningkat. Namun, saat tingkat kecemasan mulai naik dan terus naik, kecenderungan penampilan akan menurun.
Namun, tingkat kecemasan dan stress antara satu orang dengan orang lain berbeda. Ada beberapa hal yang membedakan tingkat kecemasan atlet. Yang pertama adalah pengalaman. Atlet yang lebih berpengalaman terbukti memiliki level kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan atlet yang baru saja masih amatir. Yang kedua adalah situasi dan kondisi kompetisi. Kompetisi yang bersifat lebih tinggi tingkatnya cenderung menyebabkan meningkatnya tingkat kecemasan bagi seseorang. Sebagai contoh level kejuaraan dunia ternyata lebih stressful dibanding dengan kejurnas. Selain level kompetisi, fase kompetisi itu sendiri juga memberi pengaruh yang cukup besar. Dalam kompetisi sepakbola yang berformat liga, situasi yang cenderung membuat cemas adalah saat-saat kompetisi mendekati akhir dengan nilai yang tidak terpaut jauh sehingga masih ada kemungkinan mengejar atau dikejar.
Level kecemasan juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan diri seorang pemain. Pemain yang secara alamiah mempunyai tingkat kepercayaan diri tinggi memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan atlet yang rasa percaya dirinya rendah.
Jenis olahraga juga memberi sumbangan terhadap tingkat kecemasan. Olahraga yang bersifat individual menciptakan tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan cabang olahraga tim (Humara, 1999). Hal ini wajar karena perasaan mempunyai teman akan membuat lebih tenang dan focus tidak terpusat pada dirinya.
Hal terakhir yang mempengaruhi tingkat kecemasan adalah jenis kelamin. Menurut beberapa penelitian, atlet perempuan lebih cenderung mempunyai tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan atlet laki-laki (Thuot, Kavouras, & Kenefick., 1998 dalam humara).
Metode Penanganan
Pengaruh terbesar kecemasan terhadap performance ada pada gerak motorik seorang atlet. Dengan tingkat kecemasan yang melebihi ambang batas, respon-respon tubuh yang muncul relative merugikan untuk sebuah penampilan. Tubuh yang gemetar membuat gerakan-gerakan menjadi terbatas, belum lagi dengan kekakuan otot yang mengiringi atlet yang cemas. Hasilnya, penampilan tidak akan maksimal. Kesalahan-kesalahan passing, atau gerakan yang tidak terkontrol akan muncul tanpa sadar.
Untuk itu, atlet perlu disiapkan untuk menangani kecemasannya dengan baik. Pelatih merupakan ujung tombak agar atletnya tidak mudah stress dan cemas. Program latihan harus diatur sedemikian rupa sehingga membiasakan para pemain berada dalam tekanan. Tentu saja bukan tekanan dari pelatih, tapi oleh situasi-situasi pertandingan tersebut.
Dalam teori kepelatihan sepakbola modern, pola-pola latihan yang melibatkan tekanan mulai diperkenalkan. Van Lingen (1989) menyatakan bahwa unsur tekanan akan membiasakan para pemain berada dalam situasi pertandingan sesungguhnya. Contoh mudah adalah dengan menghadirkan “lawan” dalam setiap sesi latihan. Latihan passing tidak dianjurkan lagi hanya dengan dua orang yang berhadap-hadapan tanpa kehadiran musuh disana. Begitu pula latihan shooting, driblling dan sebagainya.
Pola latihan yang tepat akan membuat para pemain terbiasa dengan tekanan. Hasilnya akan terlihat pada kompetisi. Pemain tidak lagi canggung untuk menghadapi musuh, karena memang sudah relative terbiasa.
Selain itu, kompetisi berjasa untuk mengasah keterampilan emosional pemain. Dengan digelarnya kompetisi rutin, maka para pemain akan lebih sering bertemu dengan “lawan” sebenarnya. Jika sejak dini seorang atlet sudah sering dihadapkan untuk mengatasi tekanan lawan, maka kemampuan untuk mengalahkan imajinasi tentang lawannya akan semakin mudah. Menurut FIFA, seorang pemain usia dini seharusnya menghadapi minimal 30 pertandingan resmi dalam setahun. Salah satu tujuannya tentu saja untuk membiasakan para pemain.
Selain cara-cara yang berkaitan dengan proses latihan, perlu juga diberikan penanganan-penanganan yang bersifat pribadi. Ini adalah tugas dari seorang konsultan psikologi atau psikologi olahraga untuk membuat sebuah bentuk penanganan untuk mengurangi tingkat kecemasan atlet dan untuk menyiapkan mental atlet dalam menghadapi pertandingan penting. Salah satunya adalah dengan imagery training.
Para atlet diajak untuk berlatih “membayangkan” situasi-situasi yang akan dihadapi di lapangan. Tujuannya adalah memberi gambaran awal tentang situasi dan kondisi yang akan dihadapi. Banyak penelitian telah membuktikan efektifitas imagery traingin ini dalam mengurangi kecemasan pemain (Yukelson, 2007)s.
Secara individual, para atlet juga harus membekali dirinya dengan keterampilan mental untuk mengurangi kecemasan yang timbul. Keterampilan-keterampilan tersebut berkaitan dengan keyakinan-keyakinan pribadi. Salah satu contohnya adalah dengan self talk. Dengan self talk, para atlet diajak untuk mengurai kemampuannya sendiri dengan lebih objektif beserta solusi-solusi atas kekurangan-kekurangannya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para atlet dalam rangka mengurangi kecemasan yang ditimbulkan oleh tekanan pertandingan, yakni:
· Membuat perpektif yang benar; bertanding dalam sebuah cabang olahraga bukanlah masalah hidup atau mati. Dengan demikian, beban akan lebih ringan. Bukan berarti hal ini menganggap remeh sebuah pertandingan, namun sekedar meletakkan permasalahan dengan lebih objektif.
· Jangan takut untuk membuat kesalahan. Perasaan takut membuat kesalahan memberi kontribusi yang cukup besar munculnya kecemasan. Dengan menganggap bahwa tidak semua orang bisa sukses setiap waktu bisa meringankan beban. Bahkan seorang Zinedine Zidane pun melakukan kesalahan yang fatal.
· Mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Dengan berlatih keras dan dengan metode yang benar, maka semua halangan bisa dengan mudah dikalahkan.
· Berkonsentrasi tinggi. Selama pertandingan berlangsung, hilangkan persoalan-persoalan yang tidak berkaitan. Dengan berkonsentrasi pada apa yang sedang dihadapi, maka seorang pemain atau atlet akan lebih bisa berfikir rasional. Pikirkan juga apa yang sedang dilakukan, bukan semata pada hasil akhir.
Dengan pendekatan yang benar, maka kecemasan tidak akan menghalangi penampilan seorang atlet. Sebaliknya, dengan kecemasan yang relatif tinggi, sebenarnya atlet tersebut sedang bersemangat. Tinggal peran atlet, pelatih dan psikologi yang ditunggu untuk menciptakan pemain-pemain yang tidak mudah stress dan bisa dengan maksimal menggunakan skillnya untuk menciptakan prestasi.
Reference
Bentuk Pemain yang Percaya Diri
Ingat bagaimana sikap Vieri karena tak kunjung mencetak gol lagi? Dia menjadi frustasi dan tidak lagi percaya diri saat bermain. Akibatnya permainannya tidak lagi bisa optimal.
Percaya diri dalam sepakbola merupakan salah satu elemen penting. Hal ini terutama untuk menunjang penampilan yang optimal. Para ahli mendefinisikan percaya diri sebagai tingkat keyakinan individu yang berkaitan dengan kemampuannya dalam melakukan sesuatu dan untuk meraih keberhasilan. Tidak hanya keberhasilan secara individu. Kepercayaan diri ini akhirnya juga berkaitan dengan keberhasilan tim secara keseluruhan.
Waspadai Penyebab
Tim yang terus menerus didera kekalahan pasti akan menimbulkan efek ambruknya rasa percaya diri seluruh tim. Dalam sepakbola, ada banyak faktor yang menyebabkan hilangnya rasa percaya diri ini. Ketidakmampuan menyelesaikan tugas, gagal berperan dalam tim, cidera, sampai persoalan pribadi, merupakan penyebab runtuhnya rasa percaya diri (lihat boks).
Seorang pelatih harus menguasai benar faktor-faktor penyebab ini. Seorang pelatih yang tidak menguasai, seringkali justru menyebabkan pemain menjadi lebih tidak percaya diri. Pelatih yang hanya bisa marah-marah tanpa bisa memberi solusi akan menyebabkan pemain kebingungan.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari pemain seperti “apa yang salah dengan diriku?” atau “apa aku kurang bagus?” akan mengakibatkan ketidakmampuan menguasai diri. Akhirnya kesalahan demi kesalahan akan muncul. Runtuhnya kepercayaan diri ini akan mengakibatkn permorfa yang jeblok.
Faktor cidera juga menjadi salah satu momok. Selain membuat turunnya kualitas fisik, cidera juga akan membuat para pemain selalu dihantui oleh ketakutan akan berulangnya peristiwa dia alami. Ketakutan ini akan membuat pemain tidak percaya diri lagi. Efeknya pemain tersebut tidak akan bisa tampil maksimal.
Ketidakseimbangan antara program latihan dengan keadaan riil pemain juga membuat pemain menjadi tidak percaya diri. Buatlah program yang mendorong pemain untuk mencapai level ketrampilan yang lebih tinggi. Tapi harus diingat program latihan juga harus tetap bisa dilakukan oleh para pemain.
Pemain yang selalu gagal dalam melakukan tugas latihan akan mempunyai perasaan tidak mampu. Shooting yang terus-menerus tidak tepat sasaran, atau latihan fisik disaat para pemain kelelahan akan membuat pemain menganggap dirinya tidak cukup bagus. Hal inilah yang menimbulkan turunnya rasa tidak percaya diri.
Selain unsur-unsur yang berkaitan dengan hal teknis, faktor pribadi juga menjadi penyebab yang cukup besar. Kehilangan orang yang disayangi seringkali membuat pemain terjebak dalam kesedihan. Kesedihan ini juga akan menimbulkan turunnya performa permainan. Untuk itu seorang pelatih harus benar-benar mengusai keadaan psikologis setiap pemain.
Ucapan-ucapan dari pelatih, seringkali merupakan bumerang terhadap pemain. Ucapan negatif merupakan sebuah hukuman bagi pemain. Pemain yang melakukan kesalahan akan merasa semakin bersalah dengan tambahan ucapan pelatih yang melemahkan. Untuk itu hindari ucapan-ucapan yang negatif. Untuk mengomentari pemain yang melakukan kesalahan, pelatih harus memilih kata-kata yang lebih bersifat mendorong. Ucapan-ucapan seperti “kamu bodoh!”, “pakai mata dong!” atau “gimana sih, gitu aja nggak bisa?” merupakan beberapa contoh ucapan negatif yang justru akan membuat pemain merasa tidak mampu.
Bangun lewat Latihan
Sebenarnya pemain yang mengalami penurunan kepercayaan diri bisa dilihat dengan jelas. Tanda-tanda ini bisa dilihat baik dari ucapan-ucapan atau gerakan-gerakan tubuh yang muncul dari pemain. Koordinasi gerak yang kacau, murung atau bahkan menjadi pemarah adalah beberapa dari tanda itu.
Pemain dengan kepercayaan diri tinggi juga memunculkan tanda yang jelas bisa dilihat. Beswick (psikolog olah raga dari Inggris) mengungkapkan beberapa ucapan atau gerak tubuh pemain yang mempunyai kepercayaan diri tinggi. Berikut ini tanda-tanda orang sedang dalam kepercayaan diri tinggi.
· Keyakinan diri tinggi- dengan perkataan “saya bisa melakukannya”
· Kesan positif dari gerak tubuh, misalnya reaksi terhadap bola yang lebih baik
· Menikmati kompetisi dan proses latihan
· Tidak merasa khawatir akan gagal
· Tenang, terkendali, berkonsentrasi dan kontrol diri yang tinggi
· Tidak berusaha menjadi lebih mengesankan dibanding yang lain
· Memahami kekuatan dan kelemahan diri dan menerima apa adanya
Keadaan ini bukan merupakan bawaan dari lahir. Artinya semua itu bisa diraih dengan proses latihan yang benar. Dengan proses latihan yang benar, semua itu akan bisa dicapai. Tujuan latihan harus disesuaikan dengan keadaan dan kondisi tim secara keseluruhan. Tim yang berisi pemain-pemain muda dan baru bergabung jelas tidak mungkin dibebani tugas untuk juara kompetisi.
Tujuan ini harus realistis. Untuk bisa mencapai tujuan ini, pelatih harus menurunkannya ke dalam program latihan yang baik pula. Latihan adalah sebuah proses untuk membuat pemain mencapai level ketrampilan yang lebih baik. Untuk itu proses latihan harus bisa membuat para pemain menjadi lebih mampu bermain sepakbola dibanding sebelumnya. Sifat latihan juga harus bisa membuat pemain termotivasi untuk berbuat lebih baik.
Kenyataan ini seringkali justru menjadi bumerang. Pelatih yang merasa harus segera meningkatkan kemampuan teknis pemainnya, kemudian membuat latihan yang berat. Keadaan ini akan membuat proses latihan menjadi tidak menyenangkan. Pemain juga akan sering salah dalam melakukan instruksi pelatih. Akhirnya pemain akan merasa dirinya tidak mampu. Kondisi inilah yang memicu ambruknya rasa percaya diri pemain.
Jaga Ucapan
Seperti diungkapkan di atas, tidak jarang pelatih yang merasa jengkel akan mengeluarkan ucapan-ucapan untuk mengekspresikan kejengkalannya. Namun, seringkali ucapan ini menyebabkan pemain merasa tidak berguna.
Harus diingat bahwa pemain menganggap pelatih sebagai sosok yang paling tahu kondisinya. Ucapan yang negatif akan dianggap sebagai sebuah informasi bahwa pemain tersebut memang jelek. Untuk itu pelatih harus bisa menjaga ucapan-ucapannya. Hal ini terutama pada saat latihan. Latihan harus benar-benar dijadikan proses pengembangan, baik teknik maupun kepribadian pemain. Pelatih harus berfungsi sebagai motivator pada saat latihan maupun pertandingan. Jangan sampai pelatih terlihat sebagai hakim yang menghukum pemain yang salah melakukan gerakan.
Ucapan-ucapan yang menyiratkan kebodohan pemain harus dihindari. Sebaliknya ungkapan itu harus muncul sebagai ucapan yang bersifat memberi motivasi. Ada dua jenis ucapan yang keluar dari pelatih. Yaitu itu kritikan atau pujian.
Kritikan muncul karena pemain gagal melakukan sesuatu. Kritik terhadap pemain harus dilakukan dengan positif. Misalnya “kamu bisa melakukan yang lebih baik”, atau “kamu harus belajar gerakan itu dengan lebih giat”, atau “ayo tunjukkan kemampuan terbaikmu!”
Pujian memang harus sering keluar dari mulut pelatih, namun perlu diingat, pujian yang terlalu berlebih akan menciptakan pemain yang sombong. Pemain yang terlalu sombong akan lupa dengan keadaan dirinya. Sehingga dia akan muncul sebagai pemain yang egois dan sok. Ini akan merugikan tim secara keseluruhan. Pujian harus dilakukan secara proporsional. Pujian akan lebih baik jika diberikan langsung berkaitan dengan kemampuan teknis. Misalnya, “akurasi yang bagus!”, “bagus..memang harus sekeras itu!”, “ya..posisi itu yang tepat!” dan sebagainya.
Peran Orang Tua
Sebagai manusia, pemain juga pasti mempunyai persoalan-persoalan pribadi. Persoalan-persoalan ini sering berpengaruh dalam penampilan. Masalah seperti kehilangan orang tua, kehilangan pacar atau mendapat musibah berpotensi besar menurunkan performa pemain.
Dalam hal ini pelatih harus tanggap. Pelatih harus bisa menjadi teman ketika para pemain merasa sedih. Atau paling tidak pelatih harus bisa membangun tim dengan suasana kekeluargaan, sehingga para pemain tidak merasa ditinggal ketika sedang sedih. Pelatih harus bisa membuat pemain yang sedang sedih kembali termotivasi untuk berprestasi. Hal ini hanya bisa dilakukan jika pelatih memahami para pemainnya dengan baik.
Kontribusi orang tua juga tidak bisa dianggap sepele. Orang tua adalah orang yang sangat berpengaruh terhadap pemain. Orang tua harus mengarahkan tujuan dan kemampuan anak-anaknya. Jangan sampai orang tua justru memberikan tekanan-tekanan yang berlebihan pada anak-anaknya.
Para pemain muda masih sangat rentan dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Seringkali para pemain terpengaruh untuk cepat berprestasi dengan cara-cara instan. Seperti penggunaan obat-obatan atau berbuat curang di lapangan.
Orang tua harus bisa memberikan keyakinan bahwa satu-satunya jalan untuk sukses adalah berlatih dengan benar. Selain itu orang tua juga harus bisa membuat anak-anaknya yakin dengan dirinya sendiri. Orang tua juga harus mampu berperan sebagai teman ketika para pemain merasa tidak percaya diri lagi.
Selain itu, pemain sendiri juga harus belajar bagaimana mengontrol dirinya sendiri. Pemain harus bisa melihat keadaan dirinya dengan lebih objektif. Belajar untuk memahami diri dan lingkungan menjadi sangat penting. Tujuan pribadi, seperti mengapa mereka bermain sepakbola, untuk apa berlatih, mengendalikan emosi dan sebagainya harus dipahami dengan benar.
Pemain yang merasa dirinya paling hebat akan merasa tertekan jika suatu saat dia mengalami kegagalan. Pemain harus terbiasa melihat situasi dengan objektif. Tidak gampang mengambil kesimpulan dan tidak mudah menyerah.
Untuk membantu menciptakan pemain yang seperti ini latihan-latihan tambahan juga perlu diberikan. Latihan-latihan yang bersifat membangun mental merupakan salah satu cara yang saat ini banyak ditempuh. Tentu saja peran profesional seperti psikolog atau motivator atlet perlu dipertimbangkan. Latihan-latihan seperti Relaksasi, Mental Imagery, atau latihan team building perlu dicoba untuk diterapkan.
Memang untuk bisa sukses akan timbul persoalan-persoalan di tengah jalan. Pemain yang semakin sering mendapat sorotan karena prestasinya mempunyai potensi gangguan yang lebih besar. Hilangnya rasa percaya diri hanyalah salah satu masalah yang mungkin timbul. Namun dengan koordinasi semua pihak dan program klub maupun latihan yang rapi akan menciptakan pemain yang mempunayi kepercayaan diri tinggi tidak mudah menyerah.
Percaya Diri Gapai Prestasi!
Apa yang terjadi jika seorang atlet merasa kehilangan kepercayaan dirinya? Kalah sebelum bertanding mungkin akan menjadi hasil yang di dapat. Namun, bagaimana jika ada atlet mempunyai rasa percaya diri yang berlebih? Kekalahan akan membuatnya runtuh seketika.
Atlet yang merasa tidak percaya diri, atau sering disebut diffident, merupakan akibat dari ketidakyakinannya pada kemampuan yang dia miliki. Atlet tersebut mempersepsi dirinya terlalu rendah sehingga kemampuan optimalnya tidak tampak. Dengan kata lain, atlet tersebut meremehkan dirinya sendiri. Untuk kasus seperti ini, sebuah kesalahan kecil akan menimbulkan malapetaka, karena akan mengukuhkan persepsi tentang ketidakmampuannya.
Kasus yang tidak kalah merugikannya adalah ketika seorang atlet mempunyai kepercayaan diri yang melampaui batas atau overconfidence. Dengan kata lain, atlet tersebut mempunyai keyakinan yang terlalu berlebih mengenai kemampuan aslinya (Wann, 1997). Overconfidence inipun tidak kalah berbahaya dari kekurangan rasa percaya diri. Akibat kepercayaannya yang tidak sesuai dengan kondisi nyata, atlet tersebut akan cenderung untuk mengurangi atau bahkan malas berlatih. Efeknya adalah penurunan performa pada saat kompetisi. Dan karena atlet dengan rasa percaya diri yang berlebihan ini biasanya tidak pernah membayangkan kekalahan, maka pada saat harus menerima kekalahan yang muncul adalah rasa frustasi yang berlebihan.
Oleh karena itulah, seorang atlet harus tetap menjaga rasa percaya dirinya (self confidence) pada titik yang optimal. Mereka harus memandang secara rasional kemampuannya. Seorang atlet yang mempunyai rasa percaya diri optimal biasanya mampu menangani situasi yang sulit dengan baik. Mereka akan mengembangkan sikap yang rasional, mau bekerja keras, melakukan persiapan yang memadai dan juga mempunyai banyak alternatif untuk memecahkan kesulitan yang muncul (Dosil, 2006).
Lentur dan Mudah Berubah
Dari gambaran di atas, jelas terlihat bahwa kepercayaan diri merupakan elemen penting yang memengaruhi penampilan seorang atlet. Percaya diri sendiri sering diartikan sebagai gambaran atas kemampuan pribadi yang berkaitan dengan tujuan tertentu. Atau dalam definisi yang lain, kepercayaan diri keyakinan atau tingkat kepastian yang dimiliki oleh seseorang tentang kemampuannya untuk bisa sukses dalam olahraga (Wann, 1997). Artinya ada unsur keyakinan akan kemampuan diri yang bersinggungan dengan kondisi riil pertandingan atau tujuan yang akan dicapai.
Ada banyak aspek yang dapat meningkatkan rasa percaya diri seorang atlet. Yang paling sering ditemui adalah keberhasilan atau prestasi yang di raih sebelumnya. Dalam kasus sepakbola, kemenangan-kemenangan di pertandingan sebelumnya sering dijadikan pelecut yang memompa kepercayaan diri pemain. Dengan kata lain, kemenangan pertandingan sebelumnya dapat meningkatkan rasa percaya diri pemain untuk pertandingan selanjutnya.
Selain itu, aspek lain yang berpengaruh adalah penguasaan teknik dan skill yang diperlukan. Beberapa waktu yang lalu, Chris John menyatakan kesiapan serta keyakinannya untuk mengalahkan Petinju dari Jepang atas dasar latihannya yang keras untuk mempunyai pukulan yang mematikan. Dalam hal ini, Chris John merasa telah menguasai sebuah keterampilan atau skill yang dibutuhkan untuk mengalahkan lawan-lawannya.
Hal lain yang mempengaruhi kepercayaan diri seorang atlet adalah konsep diri. Konsep diri merupakan sebuah gambaran mengenai dirinya sendiri. Konsep diri seringkali disebut sebagai self perception. Gambaran dan keyakinan mengenai siapa diri kita sangat menentukan rasa percaya diri seseorang.
Penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya kepercayaan diri itu adalah sesuatu yang lentur dan sangat rentan dengan perubahan. Kekalahan demi kekalahan, komentar yang buruk dari lingkungan maupun media, atau bahkan kesalahan dalam memersepsi kemampuan diri bisa jadi menjadi faktor ambruknya rasa percaya diri seorang pemain atau atlet.
Menumbuhkan dan Memelihara
Jelas merupakan pekerjaan rumah bersama antara pemain/atlet, pelatih dan para psikolog olahraga yang mendampingi untuk mencari metode dan cara agar tingkat kepercayaan diri seorang atlet bisa dipertahankan dalam level yang optimal. Usaha pemain/atlet akan sia-sia seandainya pelatih yang menanganinya memberi komentar yang justru meruntuhkan rasa percaya diri atlet.
Penelitian yang dilakukan oleh Chie-der menunjukkan bahwa ada beberapa sumber dari rasa percaya diri, yakni penyempurnaan skill, demonstrasi, dan penampilan fisik. Ketiga sumber ini merupakan hasil dari latihan yang, tentu saja, merupakan peran dari pelatih. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa ketika seorang atlet basket mampu menyempurnakan skill, melakkukan demonstrasi serta menunjukkan penampilan fisik yang optimal, maka tingkat rasa percaya dirinya pun akan meningkat.
Untuk pemain/atlet, ada beberapa saran yang bisa dilakukan untuk menjada rasa percaya diri dalam posisi optimal, di antaranya adalah tetap realistis terhadap kemampuan yang dimiliki dengan melihat tugas yang harus dihadapi. Tidak semua kompetisi mempunyai tingkat kesulitan yang sama. Sehingga seorang pemain harus mampu melihat kemampuan optimalnya berdasar level kompetisi yang mereka ikuti.
Pergunakan pengalaman yang lampau untuk media belajar, baik itu berupa keberhasilan maupun kegagalan. Menyusun tujuan dan pencapaian yang realistis akan membantu memudahkan mencapai taraf percaya diri yang optimal. Mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan mengenali teknik-teknik yang belum begitu dikuasai untuk kemudian dilatih dengan lebih intensif.
Untuk para pelatih, memelihara rasa percaya diri para pemain tidak hanya dilakukan melalui ucapan-ucapan. Memang ucapan pelatih merupakan salah satu suntikan motivasi yang bagus bagi atlet yang sedang mengalami penurunan, namun kadang-kadang ucapan bisa menjadi bumerang yang justru akan menjatuhkan mental.
Untuk itu memelihara rasa percaya diri pemain agar tetap dalam kondisi optimal bisa juga dilakukan dalam sesi latihan. Latihan yang menggunakan goal setting akan memacu para pemain untuk menyelesaikan dengan baik. Tapi harus diingat, membuat goal yang realistis akan membuat rasa percaya diri pemain naik, karena ada persepsi bahwa mereka bisa menyelesaikan tugas dengan sempurna.
Menjadikan diri sebagai model atau panutan juga akan membantu. Di lapangan, bagaimanapun juga, seorang pelatih adalah model bagi atletnya. Apa yang dilakukan oleh model, sedikit banyak akan ditiru oleh pemain. Untuk itulah, seorang pelatih harus tetap menjaga wibawa dan menunjukkan bahwa dirinya pantas untuk ditiru, baik dalam bentuk ucapan maupun bahasa tubuh.
Mengajak pemain untuk mempraktekkan self talking terbukti membantu. Self talking adalah aktivitas untuk mengenali dirinya lebih jauh lagi. Dengan self talking, seseorang diajak untuk lebih realistis dalam melihat kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian, pemain akan tetap sadar dengan kemampuan terbaiknya, sebaliknya seandainya masih ada kekurangan, pemain bisa meningkatkannya.
Memberi pujian juga merupakan salah satu metode yang bisa dilakukan. Pujian mengandung penguat positif yang mempunyai kecenderungan menguatkan perilaku. Dengan memberi pujian pada pemain yang mampu menyelesaikan tantangan, maka akan memberikan persepsi yang positif bagi atlet (Wann, 1997).
Peran Psikolog
Untuk olahraga-olahraga tim, peran pelatih barangkali mempunyai keterbatasan yang disebabkan oleh jumlah pemain yang cukup banyak. Dari kondisi tersebut, pelatih seringkali mempunyai kesulitan dalam mengenali satu persatu kondisi mental para pemainnya. Untuk itulah para pelatih sebaiknya didampingi oleh seorang psikolog olahraga yang bertugas untuk membantu memberi masukan dan memahami para pemain satu demi satu.
Psikolog dapat berperan lebih aktif dalam peningkatan rasa percaya diri atlet ini dengan memberi masukan kepada pelatih mengenai kondisi kejiwaan masing-masing pemain. Selain itu, seorang psikolog juga harus mampu segera memberi analisis dan saran perlakukan seandainya ada pemainnya yang merasa tidak percaya diri.
Selain itu, yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan teknik imagery training. Imagery training adalah visualisasi mental yang berkaitan dengan tugas atau pertandingan yang akan berlangsung. Dalam imagery training, seorang pemain diajak untuk membayangkan secara langsung suasana dan situasi pertandingan yang akan dihadapi. Mulai dari lawan, penonton, hingga kesulitan-kesulitan yang kira-kira akan muncul dalam pertandingan.
Tujuan dari imagery training adalah agar atlet/pemain mempunyai gambaran yang lebih riil mengenai kemampuannya, masalah-masalah yang mungkin akan timbul sehingga dia bisa segera mencari solusi, atau mungkin suasana penonton yang bisa jadi akan melakukan teror. Dengan gambaran-gambaran lebih nyata ini, para atlet akan mampu bersikap dan mengambil tindakan sesuai dengan kebutuhan dalam konteks memenangkan pertandingan.
Psikologi Olahraga & Psikologi Latihan
Sekalipun Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam pendekatannya, beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar:
1. mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu
2. memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya
Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk:
1. membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak
2. membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar
3. meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan
4. memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).
Sekalipun belum begitu jelas letak perbedaannya, Weiberg dan Gould (1995) telah berupaya untuk menjelaskan bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997).
Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada upaya membahas masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya.
Sekalipun demikian, kedua bidang ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks sosial dan sosial terbentuk karena adanya individu-individu. Di samping itu kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor kompetisi dalam olahraga.
Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia
Jadi, di satu pihak seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.
Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam.
Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.
Atlet, Pelatih, & Lingkungan
Atlet, pelatih dan lingkungan merupakan tiga aspek yang berkaitan satu sama lain dalam membicarakan psikologi olahraga dan psikologi senam. Istilah atlet tidak terbatas pada individu yang berprofesi sebagai olahragawan, tetapi juga mencakup individu secara umum yang melakukan kegiatan olahraga. Pelatih harus dibedakan dari sekedar instruktur, karena pelatih tidak hanya mengajarkan atlet bagaimana melakukan gerakan-gerakan olahraga tertentu, tetapi juga mendidik atlet untuk memberikan respon yang tepat dalam bertingkah laku di dalam dan di luar gelanggang olahraga. Lingkungan tidak terbatas pada lingkungan fisik semata-mata tetapi juga lingkungan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya lingkungan kehidupan tempat atlet tinggal.
Atlet, pelatih dan lingkungan adalah tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan yang menentukan athletic performance. Istilah atlethic performance agak sulit untuk diterjemahkan karena merupakan suatu istilah spesifik yang tidak bisa disamakan artinya dengan misalnya perilaku atletik.
Atlet
Seorang atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi secara spesifik pada dirinya. Sekalipun dalam beberapa cabang olahraga atlet harus melakukannya secara berkelompok atau beregu, pertimbangan bahwa seorang atlet sebagai individu yang unik perlu tetap dijadikan landasan pemikiran. Karena, misalnya di dalam olahraga beregu, kemampuan adaptif individu untuk melakukan kerjasama kelompok sangat menentukan perannya kelak di dalam kelompoknya.
Adalah sesuatu hal yang mustahil untuk menyamaratakan kemampuan atlet satu dengan lainnya, karena setiap individu memiliki bakat masing-masing. Bakat yang dimiliki atlet secara individual ini lah yang sesungguhnya layak untuk memperoleh perhatian secara khusus agar ia dapat memanfaatkan potensi-potensinya yang ada secara maksimum.
Namun demikian, keunikan individu seorang atlet seringkali disalahartikan sebagai perilaku menyimpang (Anshel, 1997). Sebagai contoh petenis John McEnroe menggunakan perilaku marahnya untuk membangkitkan semangatnya. Namun bagi mereka yang tidak memahami hal ini menganggap McEnroe memiliki kecenderungan pemarah. Masalahnya adalah mungkin perilaku marahnya dapat mengganggu lawan tandingnya sehingga hal ini dirasakan sebagai sesuatu yang kurang sportif untuk menjatuhkan mental lawan tandingnya. Demikian pula Monica Seles sering ditegur karena lenguhannya yang keras pada saat memukul bola, namun sesungguhnya hal ini merupakan keunikan perilakunya, dan karena tidak adanya aturan khusus untuk melarang hal tersebut, sebenarnya memang Seles tidak melakukan pelanggaran apapun. Adalah juga keliru menganggap bahwa setiap atlet membutuhkan masukan dari pelatihnya pada saat menjelang pertandingan. Karena ada atlet-atlet yang lebih cendeung memilih untuk berada sendiri daripada ditemani oleh orang lain. Jadi, setiap atlet memiliki ciri khas masing-masing, dan tidak bisa dilakukan penyamarataan dalam melakukan pendekatan terhadap atlet. Hal-hal seperti inilah yang perlu difahami oleh para pembina dalam membina para atletnya. Karena justru keunikan merekalah yang membuat mereka mampu berprestasi puncak. Sedangkan mereka yang tergolong “normal” memang hanya memiliki prestasi normal-normal (biasa-biasa) saja.
Pelatih
Pelatih, seperti telah disinggung di atas, bukan sekedar instruktur olahraga yang memberitahukan atlet cara-cara untuk melakukan gerakan tertentu dalam olahraga. Pelatih juga merupakan tokoh panutan, guru, pembimbing, pendidik, pemimpin, bahkan tak jarang menjadi tokoh model bagi atletnya. Pelatih sendiri juga mungkin meniru gaya pelatih lain atau pelatih senior yang melatih dirinya. Ada pepatah asing yang mengatakan “monkey see, monkey do”, artinya apa yang dilihat, itulah yang dikerjakan. Demikianlah hal yang harus disadari oleh pelatih bahwa apa yang dilakukannya kelak akan dijadikan contoh oleh atletnya. Dengan kata lain atlet cenderung untuk meniru hal-hal yang dikerjakan oleh pelatihnya. Pelatih harus waspada akan hal-hal yang disampaikan pada atletnya, karena atlet cenderung akan mencamkan yang diutarakan oleh pelatihnya. Hal yang diutarakan pelatih pada atlet dipandang sebagai prinsip oleh atlet, dan atlet cendrung berupaya untuk mentaatinya. Demikian pula ekspressi emosi pelatih terhadap atletnya akan banyak berpengaruh terhadap perilaku atlet (Anshel, 1997).
Kecemasan pelatih menjelang pertandingan dapat mempengaruhi atlet untuk menjadi makin cemas dalam bertanding. Lontaran ucapan pelatih yang kurang layak dapat dirasakan sangat menyakitkan oleh atlet sehingga dapat memberikan pengaruh negatif pada atlet dalam berlatih maupun bertanding. Demikian pula penerapan disiplin yang tidak jelas, terlebih disertai dengan penguatan yang kurang tepat akan memberikan dampak buruk bagi penampilan atlet. Adalah tugas pelatih untuk memainkan peran penting dalam masalah-masalah psikologis seperti di bawah ini :
* Memotivasi atlet sebelum, selama, dan setelah periode latihan maupun pertandingan
* Memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan sikap atlet
* Memperbaiki citra diri dan keyakinan diri atlet
* Menjadi pimpinan yang baik untuk meningkatkan moral atlet
* Memahami dan memnuhi kebutuhan atlet
* Mengidentifikasi potensi dan mempromosikan perkembangan atlet
* Mempertahankan konsistensi performance atlet
* Membantu atlet mengatasi tekanan mental, kekecewaan, dan berbagai permasalahan yang berpotensi mengganggu performancenya kelak
* Mempersiapkan atlet dengan memberikan bekal keterampilan dan strategi bertanding.
Lingkungan
Lingkungan mencakup situasi, kondisi, interaksi atlet dengan atlet lain, dengan pelatih, dengan lawan tanding, penonton, peliput olahraga, serta juga terkait dengan kondisi fisik perlengkapan, fasilitas dan lain-lain. Dalam berbagai jenis olahraga, lingkungan juga terkait dengan masalah cuaca dan medan pertandingan. Di samping itu, lingkungan juga mencakup keutuhan kelompok, kebersamaan kelompok, sifat saling membantu di antara anggota kelompok, perasaan bangga dan lain-lain. Lingkungan memiliki aspek cakupan yang demikian luasnya, karenanya sejumlah aspek yang menentukan seringkali luput dari pengamatan.
Adalah penting untuk ditelaah besarnya peran lingkungan terhadap performance atlet, dan tangguh serta tanggapnya atlet terhadap kondisi lingkungan. Atlet yang kurang tanggap terhadap kondisi lingkungan bisa kehilangan kewaspadaan, atlet yang kurang tangguh bisa mudah terpengaruh oleh kondisi lingkungan. Selanjutnya, dukungan lingkungan yang besar mungkin dapat memberi dampak positif bagi performance atlet; sebaliknya kondisi lingkungan yang terlalu menekan cenderung memberi dampak negatif pada atlet.
Ketiga aspek yang tidak terpisahkan ini (atlet, pelatih dan lingkungan) memiliki hubungan interaksi yang demikian kompleks sehingga memang tidak terlalu mudah untuk mengkajinya. Namun demikian berbagai upaya harus terus dilakukan sebagai usaha untuk terus mengembangkan potensi atlet secara maksimal. Kompleksitas hubungan interaktif ketiga aspek ini seringkali kurang memperoleh perhatian serius; sebaliknya sejumlah upaya yang dilakukan juga sering melupakan atau memperkecil peran satu aspek dibandingkan aspek lainnya. Padahal, hambatan yang terjadi pada salah satu aspek tertentu, betapapun kecil tampaknya bisa memberi pengaruh yang besar pada performance atlet.
Motivasi: Bahan Bakar Prestasi!
Penampilan seorang atlet tidak bisa dilepaskan dari daya dorong yang dia miliki. Sederhananya, semakin besar daya dorong yang dimiliki, maka penampilan akan semakin optimal, tentu saja jika ditunjang dengan kemampuan teknis dan kemampuan fisik yang memadai. Daya dorong itulah yang biasa disebut dengan motivasi.Menurut Hodgetts dan Richard (2002) motif adalah sesuatu yang berfungsi untuk meningkatkan dan mempertahankan serta menentukan arah dari perilaku seseorang. Sedang motivasi adalah motif yang tampak dalam perilaku. Motif lah yang memberi dorongan seseorang dalam melakukan suatu aktivitas. Hampir semua aktivitas manusia didorong oleh motif-motif tertentu yang bersifat sangat individualis.
secara garis besar, ada dua jenis motivasi jika dilihat dari arah datangnya; yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang datang dari dalam diri individu. Sebagai contoh keinginan untuk mendapat poin sempurna dalam sebuah kejuaraan senam, atau keinginan untuk menyelesaikan sebuah handicap dalam olahraga motocross. Motivasi yang datang dari dalam diri individu tanpa campur tangan faktor luar inilah yang biasa disebut sebagai motivasi intrinsik.
Motivasi ekstrinsik biasa didefinisikan sebagai motivasi yang datang dari luar individu. Keinginan mendapat penghargaan, uang, trophi dan sebagainya merupakan contoh-contoh motivasi yang berasal dari luar individu. Secara umum, motivasi ekstrinsik lebih sering berbentuk kebendaan atau juga pujian.
Meskipun berbeda, kedua jenis motivasi ini sesungguhnya saling berkait satu sama lain dan bentuknya yang saling berubah-ubah. Motivasi intrinsik bisa muncul akibat adanya penghargaan yang menjadi iming-iming pun demikian dengan sebaliknya. Motivasi ekstrinsik adalah kelanjutan dari adanya motivasi intrinsik yang mengawali seseorang melakukan sebuah aktivitas.
Memang banyak ahli yang mengatakan bahwa motivasi intrinsiklah yang sebenarnya diperlukan oleh seorang atlet dalam setiap penampilannya. Karena motivasi intrinsik lebih bersifat tahan lama dibanding motivasi ekstrinsik. Mudahnya, motivasi ekstrinsik akan hilang seiring dengan hilangnya hadiah, reward, atau uang yang diinginkan, tapi tidak demikian jika yang dimiliki adalah motivasi intriksik. Namun sekali lagi, kedua jenis motivasi ini saling bertumpuk dan mempengaruhi satu sama lain.
Olahraga yang berorientasi pada prestasi merupakan salah satu aktivitas yang disadari. Selalu ada tujuan yang ingin dicapai oleh seorang atlet saat mereka melakukan aktivitasnya. Dalam suatu kejuaraan, tentu saja prestasi tertinggi yang ingin dicapai oleh seorang atlet. Namun, tak jarang juga, seorang atlet tampil hanya karena desakan dari pihak-pihak luar yang menginginkannya menjadi seorang juara.
Motivasi tidak bersifat permanen. Ada banyak hal yang bisa dengan mudah menghilangkan atau memunculkan motivasi seorang atlet. Mengambil contoh Piala Asia 2007, para pemain Indonesia seperti mendapat suntikan motivasi yang luar biasa saat puluhan ribu penonton menyaksikan pertandingan Timnas Indonesia. Namun, saat Piala Dunia 1998, Timnas Nigeria yang waktu itu diharapkan menjadi kuda hitam, tiba-tiba melempem akibat gaji yang belum dibayarkan oleh federasi sepakbola negaranya.
Contoh di atas merupakan ilustrasi yang sahih tentang bagaimana rapuhnya motivasi yang dimiliki oleh seseorang. Satu ketika bisa menjadi sangat besar, tapi disaat yang lain tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Untuk itulah diperlukan suatu metode yang berlangsung terus menerus agar motivasi atlet tetap terjaga.
Pendampingan Berkelanjutan
Dalam olahraga prestasi, yang tentu saja sudah menjadi sebuah industri tontonan, peran orang yang berperan sebagai penyuntik motivasi menjadi sangat penting. Tidak ayal, olahraga prestasi (dalam cabang apapun) membutuhkan penampilan yang konsisten dari seorang atlet. Penampilan konsisten ini termasuk juga mempunyai motivasi yang selalu tinggi.
Bisa dikatakan, orang-orang terdekat atlet adalah orang-orang yang berpotensi besar menjadi penyuntik motivasi. Baik orang tua, saudara, teman, terlebih pelatih. Seorang pelatih harus memahami benar karakter atlet binaannya. Syarat tersebut mutlak, karena pelatihlah yang mengetahui secara mendalam kemampuan terbaik dari seorang atlet. Pelatih olahraga saat ini tidak cukup hanya membekali dirinya dengan kemampuan melatih teknik, tapi juga harus mengauasai ilmu psikologi sebagai bekal untuk mendampingin atlet dalam menjaga kondisi mentalnya. Banyak pelatih yang dikatakan sukses juga merupakan seorang motivator ulung.
Namun, dewasa ini peran pelatih yang terlalu besar terkadang tidak lagi mampu mengkaver segala sesuatu yang terjadi pada atletnya. Disaat itulah dibutuhkan seorang “pembantu” pelatih yang secara spesifik mengurusi perkembangan emosi atletnya. Biasanya “pembantu” ini adalah seorang motivator atau lebih luasnya adalah seorang psikolog olahraga yang bekerja sama secara penuh dengan pelatih kepala.
Suntikan Lewat Latihan
Pada umumnya, suntikan motivasi pemain atau atlet masih berbentuk oral atau diucapkan, seperti kata-kata pujian atau semacamnya. Namun, mengikuti perkembangan metode kepalatihan dewasa ini, suntikan motivasi bisa diwujudkan dalam proses latihan teknis yang dilalui. Sebagai contoh, dalam sesi latihan sepakbola untuk usia muda, latihan bisa diset dengan menghadirkan kompetisi internal antar pemain.
Dalam latihan passing, misalnya, pola latihan tidak hanya berhadap-hadapan dua orang pemain. Tapi bisa menghadirkan gawang kecil sebagai salah satu pemancing munculnya kompetisi. Seorang pemain harus mengumpan masuk melalui gawang kecil tersebut, dan yang paling banyak masuk akan mendapat reward tertentu. Sekali lagi, pelatih harus jeli dan cermat dalam membuat pola latihan ini.
Selain untuk memicu motivasi dalam latihan, pola latihan seperti di atas bisa memudahkan pelatih dalam mengajarkan satu gerakan tertentu. Selain itu, diharapkan dengan penguasaan kemampuan teknik tertentu, pemain akan lebih percaya diri ketika menghadapi pertandingan sesungguhnya.
Pola lain dalam menyuntik motivasi adalah dengan membakar secara verbal. Namun harus diingat, memotivasi dengan menggunakan cara-cara verbal ini harus benar-benar memperhatikan kondisi dasar kepribadian pemain. Kita tidak bisa menggunakan metode crash talk atau mengatakan dengan cara meledak-ledak dan langsung jika yang dihadapi pemain-pemain yang mempunyai tipe kepribadian yang cenderung introvert. Sebaliknya, bisa digunakan sandwich talk dengan terlebih dulu memberi pujian di awal baru “membakar” di tengah dan diakhiri dengan pujian-pujian lagi.
Sebenarnya ada banyak metode dan cara dalam memotivasi seorang atlet. Tapi pada prinsipnya, hal pertama yang harus dikuasai adalah ilmu psikologi supaya terlebih dahulu bisa memetakan kondisi atletnya. Cara memotivasi yang salah hanya akan menjadi bumerang yang tidak jarang justru melemahkan motivasi atlet.
Kompetisi dan Ketahanan Mental!
Selamat buat Timnas Indonesia. Meski tidak lolos, Ponaryo dkk. telah berhasil mempertontonkan sebuah semangat dan motivasi yang luar biasa. Begitu besarnya motivasi dan semangat hingga level permainan mereka, secara tak sadar, juga mengalami peningkatan yang luar biasa.
Hal itu adalah bukti, bahwa kondisi mental sangat berpengaruh terhadap kemampuan atletis seseorang. Didukung dengan mental yang tangguh, maka kemampuan fisik dan keunggulan teknik permainan akan menjadi sebuah sinergi yang akan menghasilkan kemampuan dan penampilan yang luar biasa.
Ponaryo dkk. telah berhasil mempertontonkan hal itu. Memang hasilnya cukup mengecewakan, tapi paling tidak hal itu adalah angin segar bagi persepakbolaan Indonesia. Satu pernyataan yang sebenarnya bisa diucapkan adalah Indonesia bisa masuk dalam level dunia. Tapi tentu saja dengan syarat, ada sinergi antara fisik, teknik dan mental para pemain.
Lewat Kompetisi
Membangun mental pemain sebenarnya tidak berbeda dengan membentuk pemain sepakbola yang berteknik dan berfisik prima. Artinya mental harus dibangun dengan proses panjang dan berjenjang. Pemain kelas dunia semacam Zidane, Beckham, Ronaldo, Messi dll. adalah akibat dari sebuah proses panjang dan berkelanjutan. Mereka menjalani sebuah perjalanan yang disebut latihan dengan baik.
Menurut Van Lingen, Direktur Teknis KNVB (persatuan sepakbola Belanda) ada 3 unsur yang harus selalu dihadirkan oleh seorang pelatih dalam membangun pemain-pemain berkualitas. Ketiga unsur itu biasa disebut dengan TIC, yakni Technic, Insight, dan Communication. Sebuah latihan harus ditekankan untuk melatih teknik bermain dari para pemain, khususnya para pemain usia muda. Insight adalah pemahaman para pemain dalam permainan sepakbola. Bahwa sepakbola adalah sebuah permainan dimana lawan akan selalu berusaha merebut bola dan mencetak gol ke gawang kita. Dan sepakbola juga merupakan permainan tim yang terdiri dari 11 orang. Untuk itu pemain harus diberi pemahaman bahwa yang harus dilakukan adalah bekerja sama untuk menahan lawan mencetak gol serta bekerja sama untuk mencetak gol ke gawang lawan.
Dan yang ketiga adalah Communication. Kerjasama antarpemain dilapangan harus didasari oleh pola komunikasi yang terjalin antarpemain. Tanpa adanya komunikasi, maka pemain akan saling menyalahkan dan akhirnya tidak terjadi kerjasama. Ketiga proses tersebut merupakan terjemahan langsung dari proses pembangunan pemain dari sisi Teknik bermain, fisik serta mental.
Kompetisi yang Mematangkan
Untuk mendapatkan kemampuan aplikasi latihan dalam sebuah pertandingan, mau tidak mau para pemain harus terjun langsung dan mengalami sendiri sebuah pertandingan sepakbola. Hal ini berarti para pemain harus lebih sering bertanding dalam situasi kompetisi yang ketat. Dengan kompetisi yang ketat dimana lawan langsung hadir, maka para pemain akan dipaksa untuk berpikir cepat untuk bisa mengatasi tekanan lawan. Dengan semakin sering seorang pemain berpikir cepat dan mengambil keputusan, maka secara tidak langsung mental bertanding pun ikut diasah, terlepas dari hasil pertandingan.
Para pelatih usia muda juga hendaknya berperan sebagai seorang konselor yang secara detil memahami kondisi pemainnya. Jika dalam sebuah turnamen, para pemain melakukan banyak kesalahan, maka pelatih harus dengan bijak membaca kelemahan-kelemahan itu dan mengomunikasikannya kepada para pemainnya. Pelatih tidak berhak langsung menjatuhkan vonis atas kesalahan yang dilakukan oleh para pemainnya. Tapi masukan yang membangunlah yang seharusnya dilakukan.
Dalam sebuah pertandingan yang kompetitif, kemampuan asli para pemain akan langsung terlihat. Hal ini akan memudahkan para pelatih untuk membuat evaluasi atas pemainnya yang selanjutnya membenahi kekuarangan-kekurangan yang ada. Evaluasi ini harus diterapkan dalam bentuk format latihan yang mengidentifikasi kondisi asli pertandingan. Dalam bahasa teknis disebut dengan small sided games.
Dengan seringnya para pemain melakoni pertandingan yang kompetitif, maka para pemain pun sebetulnya dengan dalam proses learning by doing, atau trial error. Berbagai tekanan dengan segera harus dihadapi dan dipecahkan oleh para pemain. TEkanan-tekanan inilah yang akan menjadi stimulus bagi para pemain.
Secara psikologis, para pemain akan belajar dari pengalaman. Seperti teori stimulus-respon yang dikemukakan oleh Skinner, para pemain yang mendapati stimulus akan berusaha merespon dengan perilaku tertentu. Ditambah dengan penguat dari pelatih, maka respon yang diperoleh diharapkan berupa respon-respon yang positif atas stimulus tersebut.
Untuk kasus sepakbola Indonesia, penampilan para pemain di pentas Piala Asia kemarin seharusnya menjadi moment untuk memperbaiki diri dengan mencetak lebih banyak pemain. Semangat yang ditampilkan oleh para Bambang, Eka Ramdani, Syamsul Bahri harus dipelihara dalam konteks membangun bibit-bibit baru pemain Indonesia.
Sudah waktunya Indonesia mempunyai sistem pembinaan pemain yang berjenjang dengan basis kompetisi yang teratur. Sekali lagi, kompetisi akan mematangkan dan menyelesaikan tugas belajar yang dimiliki oleh pemain di masing-masing kelompok umur. Jika dalam satu kelompok umur para pemain berhasil menyelesaikan tugas belajarnya, maka fase selanjutnya akan lebih mudah di jalani. Menurut FIFA, setiap tahun, para pemain muda sebaiknya menjalani 30 kali pertandingan. Hal ini di dasarkan atas kemampuan seorang anak dalam mencari solusi atas tekanan permainan yang dihadapi.
Sekali lagi, kompetisi merupakan salah satu ujung tombak dalam membangun mental pemain dan tentu saja membentuk bibit-bibit pemain yang berkualitas. Tanpa kompetisi yang teratur, niscaya mental pemain hanya akan berada pada level angin-anginan. Artinya kadang meningkat, tapi tidak jarang dalam level bawah.
Kemenangan Mental!
Hari ini akan menjadi hari pembuktian apakah mental dan motivasi bisa mengalahkan keunggulan teknik dan fisik. Hari ini Timnas Indonesia yang secara fisik dan teknik dibawah akan mencoba mengalahkan raksasa Asia, Korea Selatan.
Dua pertandingan sebelumnya, Timnas Indonesia betul-betul memperlihatkan keunggulan mental, imbasnya adalah permainan yang tak kenal menyerah dan selalu memburu pemain lawan yang menguasai bola. Pada pertandingan pertama jelas sekali para Pemain Bahrain sangat kesulitan dengan determinasi mental a la pemain Indonesia. Akhirnya kekalahan 1-2 harus mereka terima.
Demikian juga pada pertandingan kedua. Para pemain Arab Saudi tampak mati akal untuk dalam usahanya melewati barisan pertahanan Indonesia. Begitu sempurna, begitu rapi dan sangat berkonsentrasi. Hanya saja sungguh sayang, kkesalahan minor yang dibuat Ismed Sofyan di menit terakhir injury tim membuyarkan satu angka yang sudah di depan mata. Gol kemenangan Arab Saudi pun tercipta akibat melemahkan konsentrasi akibat menurunnya kemampuan fisik.
Mental menentukan
Dalam permainan sepakbola, unsur teknik maupun fisik saja tidaklah cukup. Ada satu elemen lagi yang tidak kalah pentingnya, yakni: Mental. Fisik akan menjamin pemain mampu menjalani permainan selama 90 menit, ditambah kemampuan teknis yang memadai, akan menghasilkan sebuah permainan yang bagus. Namun, hal itu tidak akan terjadi seandainya para pemain berada dalam tekanan, stress, dan kurang motivasi.
Kondisi mental sangat menentukan kemampuan fisik sesesorang. Jika mental terganggu secara otomatis kemampuan gerak seseorang juga pasti terganggu. Otot terasa kaku, muncul keringat dingin, sakit perut, atau bahkan mual-mual adalah beberapa ciri pemain sedang mengalami stress. Jika terjadi kondisi seperti ini maka bisa dipastikan kemampuan teknis, fisik yang prima akan sirna begitu saja. Sebaliknya, jika kondisi mental dalam kondisi puncak, maka kekurangan-kekurangan itu seolah tertutupi dengan munculnya energi tambahan dari ketidaksadaran manusia.
Energi mental merangsang hormon-hormon tubuh untuk bergerak lebih cepat. Kondisi di atas layaknya ketika seseorang melihat hantu. Secepat kilat orang bisa lari dengan tenaga yang luar biasa besarnya.
Tapi perlu diingat, kondisi mental seorang pemain juga harus dikelola dengan baik jangan sampai seorang pemain tidak mengukur kemampuannya dan hanya didorong oleh keinginan-keinginan tertentu. Jangan sampai pemain yang mempunyai semangat berlebih justru menjadi bumerang dalam sebuah permainan. Jangan sampai para pemain kehilangan kontrol atas emosinya. Karena orang yang bersemangat dan termotivasi rentan terhadap provokasi.
Disinilah letak peran seorang psikolog olahraga. Psikolog olahraga berperan untuk membantu menyalurkan motivasi dan semangat besar para pemain Indonesia agar bisa lebih menguntungkan. Peran psikolog adalah menjaga agar para pemain tetap dalam kondisi puncak sampai saat yang diperlukan. Pelatih harus berkonsultasi dengan psikolog supaya diperoleh formula yang tepat untuk mempertahankan pemain dalam peak performance-nya.
Sekali lagi, kondisi mental tidak bisa dilepaskan dari 2 elemen yang lain dalam sepakbola. Ketika teknik hebat, fisik prima, dan mental yang selalu terjaga maka akan menghasilkan sebuah permainan yang indah, pantang menyerah dan selalu ngotot untuk memenangkan pertandingan. Semoga para pemain Indonesia sore nanti mampu melakoninya.
Masa Depan Psikologi Olahraga
Psikologi olahraga, sebagai salah satu cabang dan bidang kajian baru dalam Ilmu Psikologi, menghadapi masa depan yang cukup cerah. Hal ini berkaitan dengan tuntutan olahraga yang semakin tinggi dengan berubah menjadi industri yang melibatkan nominal yang luar biasa besar. selain itu, kebutuhan untuk membangun kesehatan diri sendiri dengan pendekatan kejiwaan memunculkan kesadaran orang untuk berkonsultasi dengan ahli yang memahami kedua bidang.
Seperti disampaikan oleh Schinke,dkk. dari Universitas Laurentian psikologi olahraga akan menemukan jaman dimana industri olahraga sangat bergantung. Perkembangan tersebut meliputi bidang praktis yang tentu saja diikuti dalam bidang akademis seperti penelitian dan pengembangan kurikulum pengajaran. Dalam penelitiannya, Schinke,dkk. Memberikan bukti dari pengakuan beberapa praktisi.
Dari beberapa praktisi tersebut diperoleh data bahwa para atlet profesional berhasil mendapatkan kemajuan yang signifikan setelah bekerja sama dengan para praktisi psikologi olahraga. Contoh kasus, seorang pegolf asal Kanada, Ames, berhasil menembus jajaran pegolf PGA setelah menggunakan jasa psikolog olahraga.
Pengakuan lain didapat dari Nicole Dubuc yang menyebutkan perkembangan psikologi olahraga, terutama di arena olimpiade, sungguh menggembirakan. Dalam lokakarya dan seminar-seminar disebutkan bahwa psikologi olahraga terbukti telah memberi efek positif terhadap kemajuan proses pelatihan fisik dan mental. Kondisi ini dipicu oleh semakin tingginya para pelatih menyadari menyesuaikan antara proses latihan fisik dengan kondisi kepribadian, karakter maupun sifat dari atlet.
Bukti lain jelas bisa dibaca ketika melihat perkembangan olahraga di China. Harus diakui, Negeri Tirai Bambu tersebut sudah menjelma menjadi salah satu kekuatan olahraga terbesar di dunia. Dalam penelitiannya, Andrew Hamilton BSc, MRSC. Berhasil membuktikan bahwa China menggunakan olahraga sebagai salah satu alat untuk “menguasai dunia”. Perkembangan olahraga di China tentu saja didasari oleh kesadaran pemerintah menggerakkan masyarakatnya untuk berolahraga. Proses pembibitan dan pembinaan atlet dilakukan secara massal dan menjadi kebijakan nasional.
Kebijakan peningkatan prestasi ini tentu saja melibatkan segala bidang. Sarana dan prasarana yang mutakhir ditunjang dengan sistem kepelatihan yang modern membuat perkembangan atlet seolah tinggal menunggu waktu. Puncaknya adalah dipilihnya China sebagai tuan rumah perhelatan pesta olahraga terbesar di muka bumi, Olimpiade 2008 Beijing.
Selain sarana dan prasarana, tentu saja ilmu pengetahuan memainkan peran yang strategis. Salah satu cabang ilmu yang berperan, tentu saja, adalah psikologi olahraga. Dengan memahami dengan jelas karakter dan sifat masyarakat China, proses pelatihan akan semakin mudah. Secara tidak langsung, Ilmu Psikologi olahraga telah memainkan peranan penting dalam pembangunan olahraga China.
Sinergi Dua Bidang
Untuk menempatkan psikologi olahraga menjadi sejajar dengan ilmu fisik maupun ilmu kedokteran dalam pembangunan atlet, maka dibutuhkan usaha yang cukup keras. Ada dua hal yang perlu bersinergi dalam rangka mengembangkan teori dan sistem dalam ilmu ini, yaitu bidang praktis dan bidang akademis.
Dalam sisi praktis, para praktisi tentu saja perlu mengembangkan teknik dan cara dalam proses konseling maupun terapi bagi para atlet. Tidak hanya dalam konteks permasalahan behavioral disorders, tapi juga dalam proses pengembangan motivasi. Teknik-teknik terapi saat ini memang sudah cukup mutakhir, namun tentu saja, dalam konteks olahraga, perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Sedang dalam tataran akademis, para peneliti dituntut untuk tetap berkarya menelurkan teori-teori baru dalam rangka peningkatan performance para atlet dalam sudut pandang psikologi.
Kedua hal ini tentu saja tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Para praktisi mempunyai akses ke atlet secara langsung, sehingga seharusnya dengan mudah mengidentifikasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh atlet dan dunia olahraga secara langsung. Hal ini kemudian didukung oleh penelitian-penelitian lanjutan untuk mendapat solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut lebih komprehensif.
Selain itu memang perlu dikembangbiakkan institusi pendidikan yang secara spesifik memberikan pengajaran bagi para calon psikolog olahraga baru. Saat ini, baru sedikit institusi pendidikan yang seara spesifik membuka program-program pendidikan psikologi olahraga.
Di Indonesia, kondisi ini diyakini belum mendapat perhatian yang besar dari para praktisi psikologi. Terbukti belum banyak lembaga yang mempunyai program studi psikologi olahraga yang secara khusus mencetak para psikolog olahraga. Hal ini barangkali dipengaruhi oleh iklim olahraga Indonesia yang belum begitu menjanjikan.
Namun, menurut hemat penulis, kondisi tersebut bisa dimulai dengan mengembangkan bidang keilmuan ini dengan simultan. Dengan pamor ilmu psikologi secara keseluruhan, yang mulai merambah kehidupan bangsa ini, yang mulai meningkat. Maka tidak ada salahnya menempatkan psikologi olahraga dalam salah satu kurikulumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar